Rabu, 27 Januari 2010

LIBUR KULIAH

Saudara2 mahasiswa semester 6 / 2010, Kamis besok, 28 Januari 2010, kuliah Ritus Kehidupan terpaksa saya liburkan. Hal ini disebabkan oleh kondisi tubuh saya yang kurang fit, sehingga harus istirahat 1-2 hari ini. Sampaikan kepada semua mahasiswa semester 6. Kamis pekan depan, 4 Januari 2010, kuliah berjalan seperti biasa. Terimakasih.

Rasid Rachman

Rabu, 20 Januari 2010

RITUS DAN LITURGI



MAKNANYA DALAM HIDUP BERIMAN

Oleh: Rasid Rachman


Liturgi yang dibangun dengan banyak faktor ritual di dalamnya dewasa ini tidak dipahami berdiri sendiri. Sejak dikembangkannya ilmu liturgi pada abad ke-17, perayaan liturgi melibatan aspek-aspek lain, semisal: peran umat, makna ritus, apakah ritus mendidik, estetika, dsb.
Perkuliahan ritus kehidupan ini akan menyoroti beberapa proses, antara lain: norma, budaya, pendidikan, psikologi, dan refleki teologis. Namun sebelum melihat semua itu, sebaiknya kita melihat dulu paparan tentang ritus.

Ritus
Ritus adalah tindakan sakral manusia (= umat), baik personal maupun komunal, dalam berhubungan – demikian dalam keyakinan pelaku ritual – dengan Yang Ilahi. Ritus merupakan fenomena religius universal umat manusia sejak dahulu kala.
Dari banyak kriteria, kita dapat menggunakan 4 kriteria berikut ini untuk memahami ritus, yaitu:
1) Simbolisme, di mana perangkat dan tata gerak manusia menyimbolkan aktivitas dengan Yang Ilahi, baik historis maupun maknawi. Air dalam ritus baptisan menyimbolkan air Teberau dan kematian-kehidupan baru. Prosesi menyimbolkan perarakan umat Israel menuju tanah perjanjan.
2) Konsekrasi, di mana benda atau materi natural menghantar umat kepada sisi supranatural, kepada makna, pesan, dan gambaran di balik benda-benda. Perjamuan (yang) kudus itu menjadi gambaran perjamuan sorgawi kelak. Patung salib membawa umat kepada peristiwa salib Kristus dua ribu tahun lalu.
3) Repetisi, di mana peristiwa historis (semula, awal) diulangi dan dihadirkan kembali saat ini. Pengulangan tersebut meliputi pengulangan waktu, tata cara, tempat, pemeran, dsb. Pemuliaan salib pada Jumat Agung merupakan pemaknaan peristiwa salib oleh Penginjil Yohanes akhir abad pertama yang digambarkan oleh gereja abad ke-7 dan sejak itu selalu diulangi oleh gereja-gereja pada setiap Jumat Agung hingga masa kini.
4) Pengenangan, di mana peristiwa yang dikenangkan itu – setelah diulangi secara khusus menurut makna simbolisnya – kemudian dibagikan, sehingga orang yang mendengar terlibat secara aktif masuk dan menjadi bagian dari peristiwa yang dikenangkan tersebut.

Dalam prakteknya, ritus di masyarakat dapat berarti lebih luas daripada perayaan liturgi. Liturgi penikahan adalah segala kegiatan peribadahan yang berlangsung di gereja selama sekitar 1 jam. Namun ritus pernikahan di masyarakat dapat berlangsung beberapa hari yang berlangsung sebelum dan setelah liturgi pernikahan dilaksanakan – ia adalah sebuah prosesi ritual. Liturgi pembaptisan berlangsung beberapa menit di tempat ibadah dan di hadapan Pendeta atau Imam, namun ritus pemberian nama dan keterhisapan seseorang ke dalam komunitasnya menurut budaya-budaya tertentu dapat berlangsung selama 1-2 hari. Penyunatan hanya berlangsung beberapa menit, tetapi ritualnya berlangsung 1-2 hari. Dengan demikian kiranya menjadi jelas dengan apa yang dimaksud dengan ritus, bahwa ia tidak sebatas pada satu-dua unsur.

Norma
Manusia adalah (salah satu dari sangat sedikit) makhluk ritual di dunia ini. Ada ritus2 yang menjadi pakem telah diturunalihkan satu generasi ke generasi berikutnya. Pesta2 olahraga dimulai dari ritus pengambil api yang sumber api. Setelah diprosesikan selama beberapa hari, beberapa pekan, atau bahkan beberapa bulan, api tersebut dinyalakan di stadion utama. Ritual tersebut berjalan sedemikian rupa, sehingga sekalipun ia tidak langsung berhubungan dengan pertandingan2 dan perlombaan2 dalam pesta olah raga kelak, ritual tersebut memberikan pesan bahwa semangat membara laksana api yang menguap ke atas, kebersamaan rakyat dalam meneruskan api, dan terutama pesta demi keagungan Dewa Matahari tersebut menjadi nilai, motivasi, dan moto para atlet. Maka pertandingan dan perlombaan tidak lagi bertujuan pada dirinya sendiri, melainkan menanamkan nilai-nilai kebudayaan, sportivitas, kebanggaan dan harga diri, perjuangan, kerja keras, buah, dsb.
Ritus adalah sebuah prosesi atau sebuah drama dengan aturan atau norma-norma yang dianggap ukuran bagi “resmi atau tidaknya” sebuah ritus dilangsungkan. Norma adalah ketentuan atau aturan yang dipegangi atau diberlakukan dan kemudian yang menjadi pedoman umum untuk suatu hal. Dalam hal ritus, norma dipahami sebagai jalannya atau alur yang diberlakukan umumnya sebuah ritual. Norma tidak berarti mengikat, namun norma memberikan gambaran atau pedoman akan hal-hal global (misal: sejarah) dan detail (misal: unsur-unsur) dari sebuah ritus.
Pembahasan selanjutnya dari norma sebuah ritus menyangkut pada sejarah pembentukannya. Studi terhadap sejarah memberikan informasi atau membantu masyarakat memperoleh informasi dan interpretasi atas unsur-unsur dan cara pelaksanaannya. Itulah sebab, para Reformator gereja abad ke-16 dan ilmu liturgi abad ke-17 memberikan perhatian besar terhadap sejarah peribadahan sebagaimana dipraktekkan dan dipahami oleh gereja awal.
Sejarah pula yang akan membantu masyarakat untuk melihat kemungkinan-kemungkinan akan perkembangan sebuah ritus dalam bentuk modern atau kontekstual.
Setiap ritus memiliki unsur-unsur tetap atau norma. Norma dapat berupa tindakan, kata-kata, tata gerak, tempat, tata ruang, dsb. Mahasiswa mampu menampilkan norma (unsur atau unsur-unsur pokok) dari sebuah ritus: misalnya tiup lilin pada perayaan ulang tahun, dan kemudian mampu memaparkan arti dan pesan sebagaimana ditampilkan oleh unsur-unsur normatif tersebut.
Setelah itu, mahasiswa pun diharapkan memberikan satu-dua saran sebagai unsur baru bagi sebuah ritus. Unsur baru tersebut diharapkan merupakan bakal sumbangsih atau kontribusi dalam khazanah ritus yang telah ada.
Sekalipun norma (= detail, rinci) mendapat penekanan, namun kerangka ritual (= global, menyeluruh) tetap menjadi konteks dalam perkuliahan ini.

Budaya
Liturgi adalah “bejana terbuka” yang menyimpan unsur-unsur lama. Unsur-unsur lama tersebut dikemas sebagai budaya dan simbol dan kemudian menjadi tradisi. Adalah tidak mungkin berliturgi tanpa memberikan tempat atau hanya sedikit memberikan tempat pada tradisi. Dari tradisi itulah kita mengenal dan bergaul dengan budaya.
Peristiwa masa lalu diulang-ulangi dan kemudian menimbulkan makna baru serta memberikan pesan yang relevan, sehingga peristiwa masa lalu itu hadir kembali dan selalu hidup. Ia dekat dengan penerus tradisi budaya masa-masa setelahnya. Dalam liturgi masa lalu menjadi dekat dan hadir di masa kini; demikian pula dengan ritus atau ritual. Kehadirannya memberikan pesan bagi masa depan.

Pendidikan
Mengingat dan mempertimbangkan “desakan positif” dari pembangunan jemaat, aspek pendidikan dalam liturgi menjadi bagian yang cukup penting untuk mendapatkan perhatian dalam studi dan pelaksaan liturgi. Gerakan liturgis modern telah dan selalu menekankan hal ini. Muara dari perayaan-perayaan ibadah adalah bukan hanya pada indahnya ritus-ritus dilangsungkan atau ritualisme semata, tetapi juga pada seberapa besar dan melalui ritus-ritus tersebut menjadi pembelajaran bagi umat. Barometer suatu liturgi yang baik adalah cerdas tidaknya umat yang beribadah sebagai hasil dari liturgi-pembelajaran. Liturgi seharusnya mencerdaskan umat dan mendewasakan gereja.
Liturgi bukan tontonan semata karena keindahannya, tetapi sebuah pembelajaran.

Refleksi teologis
Secara konvensional, teologi menyangkut ilmu Alkitab dan sejarah gereja. Dalam perkuliahan ini, penghayatan teologis dilihat dalam kaitannya dengan kultur, yakni bagaimana masyarakat melihat dan memberikan nilai baru terhadap kultur dalam kesejajaran dengan disiplin teologi.
Selanjutnya mahasiswa menilai apakah sebuah usul baru untuk perayaan dapat menjadi sebuah ritus karena mengandung potensi pengulangan yang menerap. Ritus tanpa pengulangan akan hanya menjadi pesta sesaat. Ia tidak memberikan dampak pertumbuhan, apalagi sebagai embrio bagi sebuah budaya.
Refleksi teologis juga membawa kita pada pertimbangan-pertimbangan aspek-aspek pendidikan: seberapa dalam liturgi membawa perubahan sikap umat, atau apakah liturgi tersebut mencerdaskan umat.
Dengan demikian, sebuah ritus memiliki unsur-unsur normatif, memberikan pesan melalui maknanya yang dikandungnya, dan selalu dilakukan berulang-ulang. ©

Jumat, 08 Januari 2010

UNTUK MAHASISWA

Blog ini disediakan bagi para mahasiswa STT Jakarta yang mengikuti mata kuliah Liturgi. Mahasiswa dapat mengambil silabus, info2, atau hal-hal lain sekitar perkuliahan yang disediakan oleh dosen melalui blog ini.