Selasa, 15 Maret 2011

PERJAMUAN SOSIAL DAN IKATAN KEKERABATAN

UPACARA PENGUCAPAN DI MINAHASA


Nama : Ariwandira, Gledy Oktaviani, Rohani Sianipar, Wilson Simamora,
Malia Mariete Lenakoly
Semester : VI (enam)
Mata Kuliah : Ritus Kehidupan


Pendahuluan
Perjamuan sosial atau makan bersama merupakan unsur utama bagi kehidupan manusia sepanjag masa dan merupakan warisan dari budaya di seluruh bangsa. Makan bersama ini merupakan sebuah pengalaman kebersamaan. Secara historis, perjamuan sosial merupakan lambang persatuan dan persaudaraan antar manusia dengan sesamanya, sebagai tanda yang mempertemukan dan mempersatukan mereka dengan yang Ilahi, dan lambang untuk mewartakan karya Ilahi di dalam dunia. Tujuannya ialah untuk menghayati dan mengekspresikan hubungan antar manusia dan antar kelompok. Pada umumnya, perayaan perjamuan sosial lebih terfokus pada partisipasi kelompok, yaitu: untuk saling menguatkan antar anggota dan kelompok, untuk mengingat peristiwa-peristiwa khusus, dan untuk menghidupkan makna dan nilai-nilai perayaan tersebut. Selain itu perjamuan sosial tidak hanya memberikan jamuan makanan tetapi di dalamnya juga ada persiapan, proses makan bersama dan percakapan. Oleh karena itu, orang yang datang tidak hanya sekadar ingin makan kenyang tetapi para anggota saling melayani, bercengkrama, berbagi cerita dan berbagi makanan.
Perjamuan sosial pun mengasumsikan aspek keagamaan seperti pada pelaksanaan perjamuan kudus, yaitu: ciri sakramental dan aspek sosial yang adalah persaudaraan dan cinta kasih. Dengan demikian, perjamuan sosial atau makan bersama adalah sarana untuk menghayati dan mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaan dan harapan-harapan hidup manusia. Perjamuan sosial tersebut diselenggarakan tidak hanya sebagai upacara keagamaan, tetapi mengandung makna sosial karena perjamuan yang dilakukan tidak hanya makan secara pribadi, tetapi saling berbagi makanan dengan orang lain. Inilah yang memunculkan rasa kebersamaan itu dalam sebuah ikatan kekerabatan melalui perjamuan yang sedang dilaksanakan.

Upacara Pengucapan di Minahasa
Ditelusuri dari segi historis, upacara ini merupakan sebuah ritual yang berisi mantra-mantra pujian kepada para dewa atas berkat yang diberikan bagi hasil panen di ladang. Ritual tersebut dilaksanakan sambil menari mengagungkan para dewa. Ritual ini pada umumnya dilaksanakan sekitar bulan Juni-Agustus. Sebagai ungkapan syukur, tentu saja acara ini dilaksanakan secara meriah dan penuh sukacita. Pada hari itu seluruh masyarakat bersukacita sambil berkumpul di suatu tempat. Masing-masing membawa segala hasil panen dan makanan-makanan untuk diletakkan pada sebuah meja panjang. Setelah dipanjatkan puji-pujian kepada para dewa, semua orang bersama-sama makan dari apa yang telah dibawa tersebut. Saling berbagi pun terjadi. Lalu, acara tidak berhenti sampai di situ saja. Pada hari tersebut setiap rumah tangga wajib membuka rumah mereka untuk didatangi oleh tamu. Setiap tamu yang hadir ke rumah-rumah tersebut harus dijamu oleh tuan rumah dengan berbagai makanan yang ada di rumah tersebut, bahkan tamu yang hadir ke rumah-rumah tidak hanya dari satu desa, tetapi juga dari desa lainnya.
Seiring berkembangnya zaman dan masuknya kekristenan di Minahasa, pelaksanaan upacara ini juga mengalami perkembangan. Upacara ini mulai disiapkan satu hari sebelumnya. Tiap-tiap keluarga mempersiapkan baik persembahan hasil panen untuk dipersembahkan ke hadapan Tuhan di gereja, maupun makanan khas Minahasa untuk disediakan dalam perjamuan sosial. Makanan utama yang harus disediakan adalah sayur daun pangi dan nasi atau ketan yang dibakar di dalam bambu. Pada umumnya, makanan disediakan dalam jumlah yang melimpah, sebab makanan tersebut dipersiapkan untuk makan bersama, menjamu tamu di tiap rumah, dan memberikan kantong-kantong makanan ketika tamu pulang.
Pelaksanaan perayaan ini diawali dengan ibadah syukur pada pagi hari, bersama seluruh warga kampung, dengan membawa hasil-hasil panen ke gereja. Hal ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan yang telah memberikan pemeliharaan dan kesuburan (menggantikan pemahaman yang lampau sebagai ucapan syukur kepada para dewa). Pada prosesi pembawaan hasil panen, diawali dengan tarian ungkapan syukur panen, yaitu tarian Maengket. Selain itu, seluruh warga kampung pun membawa makanan olahan yang telah disiapkan pada hari sebelumnya dan ditata pada satu meja panjang yang diletakan di halaman gereja. Hal ini merupakan bentuk ungkapan syukur warga, yaitu dengan membagikan olahan hasil panen tersebut agar dapat dinikmati oleh semua orang, antara lain: masyarakat dari kampung lain, anggota keluarga yang sudah tinggal di kota, bahkan mereka yang berbeda agama. Meja tersebut mengingatkan bahwa kita telah menjadi kesatuan, ketika kita makan bersama dalam satu meja perjamuan. Mengingat kembali pada perayaan perjamuan kudus di gereja, umat makan roti dan minum anggur di sebuah meja. Meja perjamuan tersebut merupakan sebuah simbol yang seharusnya mengingatkan kita untuk turut berbagi makanan dengan orang lain di sekitar kita.
Setelah perjamuan bersama, setiap keluarga kembali ke rumah mereka masing-masing dan bersiap menjamu setiap tamu yang datang ke rumah. Perjamuan bersama ini merupakan sarana pertemuan keluarga, saling berbagi cerita, dan semakin memperkuat ikatan kekerabatan. Selesai menjamu para tamu di rumah, setiap orang yang datang bertamu diberikan kantong-kantong berisi makanan untuk dibawa pulang.

Refleksi
Proses inkulturasi bertujuan untuk menyampaikan pesan atau makna Injil secara utuh dengan menggunakan unsur-unsur yang ada di dalam kebudayaan. Tradisi Pengucapan Syukur di Minahasa adalah salah satu bentuk inkulturasi. Mungkin tiap-tiap daerah di Indonesia mempunyai tradisi perjamuan sosial. Akan tetapi, sudahkah terpikirkan bahwa upacara-upacara tersebut dapat kita pakai menjadi sebuah alat untuk menyampaikan pesan atau makna Injil?
Alangkah baiknya ritus seperti ini diberi tempat di dalam liturgi. Misalnya, pada Ibadah Pentakosta dan Perayaan Panen, dalam rumpun liturgi persembahan, umat tidak hanya mempersembahkan roti, anggur dan uang, namun umat bersama-sama meletakkan hasil-hasil panen mereka ke meja perjamuan untuk dipersembahkan dan diberkati. Hal ini dapat dipakai oleh Gereja agar semakin menghayati perjamuan sosial sebagai sarana untuk mempererat kekerabatan dan persaudaraan antar manusia, mempererat hubungan mereka dengan Ilahi, dan mewartakan kuasa Ilahi di dalam dunia.



Referensi
Chupungco, Anscar J. Liturgical Inculturation: Sacramentals, Religiosity, and Catechesis. Minnesota: The Liturgical Press, 1992.
Eswell, Walter A. Baker Encyclopedia of the Bible Vol. I. Grand Rapids: Baker Book House, 1989.
Ingkiriwang-Kalangie, dkk. Upacara Tradisional Yang Berkaitan Dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Sulawesi Utara. Sulawesi Utara: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Proyesk Inventarisasi dan Dokumentasi Kebuadayaan Daerah), 1985.
Mailoa, Williams Bill. Jurnal Teologi Proklamasi, dalam artikel: Ibadah Yang Menggembalakan. Jakarta: Unit Publikasi & Informasi, 2008.
Sianturi, Ramli. Kamu Harus Memberi Mereka Makan (tesis), Jakarta: 2006.

Sumber lain:
Artikel Kebudayaan Minahasa yang diunduh dari: http://www.scribd.com/doc/22740881/KEBUDAYAAN-MINAHASA
Williams, China dan George Dunford. Southeast Asia on a Shoestring. Lonely Planet.
Wawancara dengan Sdri. Merlin Brenda Lumintang, pada Senin, 28 Febuari 2011.

Rabu, 09 Maret 2011

RITUS BAPTISAN

Nama : Bontor Egla, Covan, Hesekiel, Maureen, Togu
Semester: VI (enam)
Mata Kuliah: Ritus Kehidupan



Pendahuluan
Ritus terjalin dalam seluruh kehidupan yang kita jalani. Setiap hal yang kita lakukan dalam dunia ini pasti mengandung makna dan nilai tertentu. Demikian pula istilah yang kita kenal dengan nama “inisiasi”, yang secara tak disadari pun turut terserap dalam tradisi kekristenan. Istilah ini berasal dari bahasa Latin ini-ire dan initiatio yang berarti masuk ke dalam atau pemasukan ke dalam, yang merupakan suatu gejala sosio-antropologis yang tersebar luas dalam masyarakat.
Hampir semua kelompok sosial mengembangkan dan memiliki suatu upacara (baik profan atau sipil dan religius keagamaan), untuk secara resmi memasukkan orang yang dianggap “orang luar” menjadi anggota kelompok sosial tertentu. Demikian pula ritus baptisan dan pemberian nama yang akan kelompok bahas dalam kesempatan kali ini. Kelompok melihat adanya suatu keterkaitan erat antara kedua persolan di atas. Untuk itu, kita akan terlebih dahulu melihat secara historis dan normatif bagaimana perkembangan ritus baptisan dan pemberian nama, dalam hubungannya dengan ritus penerimaan dalam masyarakat tertentu, sehingga kita dapat mengenal lebih dalam tentang salah satu ritus ini.

Sejarah Inisiasi Kristen Baptisan
Tidak dapat kita pungkiri, apa yang kita jalani sekarang bersumber dari tradisi-tradisi lama yang sudah berlangsung jauh sebelum kekristenan mucul. Salah satu tradisi yang akrab di telinga kita adalah paganisme. Disadari atau tidak, ritual panteistik yang dipraktekkan oleh semua agama monoistik sebagian besar bersumber dari tradisi mereka. Bahkan tradisi baptis yang kita lakukan saat ini, sudah ada lebih dahulu sebelum Yesus lahir ke dunia. Dalam tradisi pagan, baptis (tentunya dengan nama berbeda) adalah sebuah upacara yang dilakukan untuk menyatukan anak dengan air suci sebagai simbol awal kehidupan yang baru, seperti halnya air hujan yang membasahi bumi.
Lama sebelum gereja-gereja lahir, di negara-negara Timur Tengah dan sekitar Laut Tengah, dikenal upacara keagamaan yang menggunakan air sebagai upacara penyucian. Babilonia, Mesir, Persia, India, dan kelak apa yang dikenal sebagai dunia Hellenistik (berkebudayaan Yunani) mempunyai upacara pembaptisan. Beberapa sungai menjadi terkenal karenanya, bahkan sampai sekarang antara lain sungai Efrat, Nil dan Gangga.
Selain itu, ada upacara pembasuhan agamawi yang juga mengenal praktek pembaptisan, yang disebut Agama Misteri (misalnya Mithras). Kultus Mithras berasal dari Persia (Iran) dan India. Mithras adalah Dewa Matahari yang banyak dipuja oleh militer. Dalam penerimaan anggotanya, mereka harus dibaptis dan dikuduskan dengan madu. Mithraisme sampai ke Roma pada tahun 67 sebelum Kristus.
Pada zaman Patristik, upacara tersebut diserap dan berkembang menjadi sebuah ritus inisiasi Kristen yang matang. Perkembangan yang dimaksud adalah penumpangan tangan dan pengolesan dengan minyak suci dan menyusul baptisan yang dilayani oleh uskup. Tidak sampai di situ saja, zaman-zaman berikutnya kembali meneruskan tradisi inisiasi ini. Bahkan pada zaman reformasi ritus inisiasi dipandang oleh Luther sebagai karya Allah dan Kristus. Walaupun diselenggarkan oleh gereja, baptisan bukan milik gereja, tetapi milik Kristus.
Inisiasi merupakan suatu upacara atau biasa disebut sebagai sakramen. Upacara-upacara tersebut merupakan upacara simbolik yang menyertai pemasukan orang ke dalam kelompok orang yang bersatu dalam kepercayaannya kepada Yesus Kristus. Hal ini dimaknai sebagai pernyataan definitif Allah yang menyatakan diri dalam Kristus sebagai Juruselamat umat manusia.
Dalam tradisi-tradisi lainnya, kita juga dapat menjumpai apa yang serupa dengan ritus baptisan ini. Sampai sekarang di Thailand dikenal salah satu upacara “mandi”. Pada hari raya tertentu, banyak orang yang ikut mengambil bagian dalam upacara penyucian ini dengan saling menyiramkan air satu sama lain. Walaupun demikian, praktek ini telah agak bergeser maknanya. Upacara saling siram air tadi telah menjadi semacam atraksi turis dan diwarnai dengan senda gurau.
Kita juga dapat melihat praktek-praktek yang masih berlaku dalam kehidupan suku Jawa. Di Solo dan Jogjakarta masih berlaku upacaram”memandikan” pengantin. Juga di daerah yang sama, termasuk beberapa pusat ziarah umat Islam seperti Kudus, Kadilangu, dan Demak masih memberlakukan “pemandian” beberapa peninggalan (pusaka) bahkan menurunkan dan mencuci “kelambu”.
Apapun latar belakang agama dan kepercayaan yang memberlakukan praktek “baptis”, maka yang terkandung dari upacara-upacara tadi adalah memandikan atau membasuh dan membersihkan dosa.

Pengertian Baptisan dan Ritusnya
Baptisan berasal dari kata βάπτίζω, yang berarti membenamkan diri, mencelupkan diri ke dalam air (seluruhnya atau sebagian), membasuh dengan air, wudu dan mencuci. Air yang digunakan dalam inisiasi baptisan merupakan pengaruh warisan dari masyarakat umum ketika gereja mula-mula berdiri. Air yang digunakan berfungsi sebagai alat pembersih yang bersifat alami, simbol kehidupan dan kesuburan (Yes. 41:17).
Baptisan yang menggunakan air menyimbolkan pembersihan dari kenajisan, yakni dosa. Setelah seseorang mengalami pembersihan dari dosa, maka kemudian ada kehidupan atau yang dipahami sebagai keselamatan. Kehidupan tersebut merupakan karya dari Roh Kudus. Dengan memperoleh pengampunan dosa, mendapat curahan Roh Kudus, dikuduskan dan sebagainya, seseorang masuk melalui ritus inisiasi baptisan.
Berbicara mengenai baptisan, kita tidak akan bisa lepas dari simbolnya. Air merupakan aspek atau simbol yang paling penting dalam baptisan. Air memberikan hidup dalam kehidupan manusia. Air berfungsi untuk membersihkan. Di dalam beberapa agama, air digunakan untuk membersihkan diri dari dosa, sama dengan arti membersihkan secara fisik.
Dalam kehidupan sehari-hari air juga berguna untuk memberi kesegaran dan kehidupan bagi segala makhluk. Air juga menjadi tanda pembebasan (berkaitan dengan kisah pembebasan bangsa Israel keluar dari perbudakkan di Mesir). Gereja menggunakan air sebagai lambang kehidupan baru dan pembebasan dari dosa, yang kita alami dalam ritus pembaptisan.

Prosedur Sebelum Baptisan Kudus Anak
Pertama-tama, orangtua/wali mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Jemaat. Selanjutnya, Majelis Jemaat melakukan percakapan gerejawi dengan orangtua/wali, guna membekali mereka untuk mendidik anaknya dalam iman Kristiani dan mendorong anaknya untuk mengaku percaya/sidi. Setelah percakapan, Majelis Jemaat mewartakan nama dan alamat calon baptisan serta orangtua/walinya dalam warta jemaat selama 3 (tiga) hari Minggu berturut-turut untuk memberi kesempatan kepada anggota jemaat untuk ikut mendoakan, mempertimbangkannya, serta mengajukkan keberatan. Jika selama 3 (tiga) hari Minggu berturut-turut tidak ada anggota jemaat yang keberatan, maka Majelis Jemaat melaksanakan baptisan kudus anak dalam Kebaktian Minggu atau Kebaktian Hari Raya Gerejawi.
Baptisan Kudus Anak
Dalam Baptisan Kudus Anak, terdapat pernyataan iman. Di mana, dalam bagian ini orangtua/wali diberikan tanya-jawab untuk mengingat baptisan mereka dan menyatakan iman mereka kepada anak mereka.
Setelah itu masuk dalam proses Pelayanan Baptisan. Dalam bagian ini, nama anak yang hendak dibaptis dipanggil oleh pendeta, sehingga orangtua/wali membawa anaknya maju ke depan. Kemudian, si anak dibaptis dengan percikan air dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Setelah itu, anak-anak di berkati.
Setelah pelayanan baptisan, ada pesan bagi orangtua/wali, yaitu untuk membantu, mendidik mereka agar mereka bertumbuh dalam iman, mengerti makna perjanjian Allah serta Firman-Nya, dan pada waktunya mengaku iman percayanya sendiri sepenuh hati.
Setelah itu pesan diberikan bagi jemaat, untuk menerima anak-anak yang telah dibaptis sebagai anggota persekutuan tubuh Kristus dan pewaris Kerajaan Allah dengan penuh kasih sayang, serta mendukung mereka dan orangtua/wali mereka dalam pendidikan iman mereka.
Setelah Baptisan
Setelah baptisan, orangtua/wali mengambil peran penting dalam kehidupan anak-anak yang dibaptis. Hal itu dikarenakan tugas mereka untuk menjaga iman para anak-anak yang sudah dibaptis, membimbing dan mengenalkan mereka pada Kristus dengan mengikutsertakan mereka untuk berdoa, bersekolah minggu, bergereja, serta melakukan ibadah keluarga di rumah. Hal ini menolong pertumbuhan iman anak-anak, sehingga mereka tidak kehilangan identitasnya sebagai anak-anak Allah.

Sumbangan dan Refleksi Kelompok
Dari pemaparan tersebut, kita semua dapat mengetahui bahwa tradisi baptisan telah ada sebelum ke-Kristenan dalam budaya masyarakat yang hidup sebelumya. Sadar ataupun tidak, kita menyerap ritus baptisan yang mereka lakukan. Bahkan, tidak hanya itu saja banyak di antara ritus-ritus lain yang kita lakukan berasal dari kebudayaan tersebut. Hingga saat inipun banyak dari tradisi itu yang masih bertahan dan memiliki makna yang hampir sama dengan tradisi kekristenan saat ini. Namun demikian, harus diakui bahwa makna dari ritus tersebut sudah mulai bergeser karena perkembangan jaman yang ada.
Selain itu, kita dapat mengetahui bahwa ritus bukan hanya pada saat suatu perayaan berlangsung akan tetapi berkelanjutan hingga perayaan selesai, bahkan sebelum perayaan tersebut. Begitu juga halnya dengan baptisan seperti yang telah dibahas ada banyak kegiatan yang dilakukan sebelum dan sesudah baptisan berlangsung. Akan tetapi, banyak gereja yang hanya melakukan sekali pertemuan untuk membicarakan makna baptisan, bahkan mungkin ada gereja yang tidak mengadakan pertemuan untuk membicarakan hal tersebut. Padahal perlu ditekankan bagi orangtua dan wali bagaimana menjadi orangtua Kristen yang dapat mendidik anaknya sebagai wujud komitmen orangtua membawa anaknya kepada Kristus dan jemaat. Oleh karena itu, banyak akhirnya orangtua tidak dapat memperkenalkan hidup kekristenan hingga anaknya dewasa.
Gereja juga jangan hanya memperhatikan administrasi gereja dari surat-surat baptisan tersebut. Akan tetapi, gereja juga harus mengadakan penggembalaan yang berisi materi agar orangtua serta jemaat mengetahui makna sebenarnya dari baptisan sehingga dapat mengarahkan “anggota baru” dalam komunitas tersebut. Selain itu, gereja harus mengambil bagian dalam perkembangan kehidupan beriman anak serta orangtua dalam keluarga, gereja dan bermasyarakat. Hal ini juga dapat diterapkan oleh kita sebagai mahasiswa teologi yang nantinya akan melayani di jemaat.

Daftar Pustaka
Groenen, C., Teologi Sakramen Inisiasi Baptisan – Krisma: Sejarah dan Sistematik, 1992.
Hukh, Gabe, Liturgi yang Anggun dan Menawan: Pedoman Menyiapkan dan Melaksanakan Liturgi, Jogjakarta: Kanisius, 2001.
Eliade, Mircea. The Sacred and The Profane: The Nature of Religion. New York: Harper and Row Publisher, 1957.
Christano, Charles. Baptis. Semarang: Komisi Literaratur Sinode GKMI, 1983.
Rachman, Rasid. Artikel Baptisan (dan Peneguhan Sidi) dan Perjamuan Kudus: Sebuah Tinjauan Sosio-Teologis Bagaimana Anak (tidak) ikut serta di dalamnya dalam buku Bergumul dari Warisan Tradisi. Jakarta: KPT GKI SW Jabar, 2009.
Martos, Joseph. Doors To The Sacrred. United Stated: DOUBLEDAY, 1982.
Windhu, Marsana. Mengenal 30 Lambang / Simbol Kristiani. Jogjakarta: Kanisius, 1997.
Sumber Internet
http://old.nabble.com/Agenda-Esoteris-(2):-Ritual-Paganisme-dalam-Ritus-Agama-Langit-td23808506.html