Selasa, 22 Mei 2012

Anggota Kelompok: Eirene Charanita Iroth, Hars Seasar Valentino Sardi Semester : 6 (Genap) Mata Kuliah : Ritus Kehidupan Dosen Pengampu : Ester Pudjo Ph.D. Pdt. Rasid Rachman, M.Th. ___________________________________________________________________________ Pendahuluan Prosesi iring-iringan para pendeta hingga penumpangan tangan kepada calon pendeta. Itulah yang dapat kita deskripsikan ketika kita menghadiri sebuah ibadah penahbisan. Penahbisan adalah sebuah proses yang wajib diikuti oleh seseorang untuk menjadi seorang pendeta. Mungkin ini merupakan definisi sederhana yang dapat kita utarakan ketika seseorang bertanya. Akan tetapi, apakah hanya sesederhana itu? Tentu kita perlu menggali lebih dalam untuk menemukan definisi serta makna yang mendalam dari sebuah istilah yang dinamakan penahbisan. Demi mendalami pembahasan kali ini, maka kelompok mencoba membantu rekan-rekan sekalian untuk mencicipi sejarah, makna, hingga praktik penahbisan yang dilakukan hingga dewasa ini. Kelompok berharap, melalui pembahasan yang sederhana dan jauh dari sempurna ini dapat membantu rekan-rekan untuk melihat sebuah ritus yang nyata terdapat dalam kehidupan bergereja. Saat ini memang hanya melihat, namun mungkin saja suatu saat rekan-rekan dapat mengambil bagian dalam sebuah praktik penabisan. Sakramen Tahbisan Sakramen tahbisan dalam istilah Latin adalah sacramentum ordinis. Dalam istilah ini, sebenarnya terkandung penekanan akan aspek sebuah jabatan. Sakramen ini sering juga disebut sakramen imamat. Akan tetapi, sebenarnya kedua istilah ini mempunyai penekanan yang berbeda, kendati sering dipandang sama. Istilah imamat ini memperlihatkan adanya aspek tugas-tugas menguduskan. Sebagai contoh, tugas tersebut adalah: pelayanan ekaristi, pelayanan sakramen tobat, dan yang lainnya. Pastinya tugas-tugas tersebut meliputi pengudusan, penggembalaan, serta pelayanan. Sedangkan istilah tahbisan lebih menekankan suatu kejadian penuh rahmat yang mengubah serta menguduskan seseorang untuk menjadi pemimpin gereja (Martasudjita 2003, hal. 370). Bagi komunitas orang beriman, penahbisan berfungsi sebagai suatu jalan demi memperlihatkan relasi cinta kasih yang baru. Umat akan bersukacita karena ada seseorang yang dipanggil oleh Allah demi pelayanan kepemimpinan. Di sisi lain, ibadah penahbisan juga dapat dikatakan sebagai ibadah pengucapan syukur. Dalam arti, melalui penahbisan, umat dapat mengucap syukur kepada Allah karena terdapat panggilan pemeliharaan Allah kepada seseorang. Seseorang yang melayani serta mengundang berkat Allah. Selain itu, Penahbisan juga berfungsi sebagai panggilan gerejawi. Gereja dapat menjadi saksi bahwa seseorang telah dipanggil Allah, dan ia yang dipanggil telah dipisahkan untuk menjadi seorang yang cocok memimpin komunitas orang beriman (White 2002, hal. 302). Sejarah Tahbisan (Jabatan-jabatan) Dalam Perjanjian Lama, tugas pelayanan umat Israel didasarkan pada perintah Allah. Tugas pelayanan tersebut dibagi menjadi tiga posisi, yaitu raja, imam, dan nabi. Raja mempunyai peran sebagai gembala atas umat (bdk. 2 Sam. 5:2). Ia membela hak Allah begitu juga melindungi hak-hak orang miskin. Seorang raja dalam Perjanjian Lama juga berperan sebagai wakil. Di satu sisi, ia mewakili umat untuk berbicara kepada Allah, sedangkan di sisi lain, ia mewakili Allah untuk berbicara kepada umat. Kemudian imam, imam mempunyai tugas mempersembahkan kurban kepada Allah (bdk. Ima. 1-7), memberkati umat atas nama Allah, serta menyatakan ketahiran. Sesudah pembuangan, tugas imam lebih mengarah kepada pelayanan ibadat. Selanjutnya adalah nabi. Para nabi berperan sebagai pewarta sabda Allah kepada raja dan umat-Nya. Ia harus senantiasa mendengarkan sabda Allah dan menyampaikannya. Tidak itu saja, seorang nabi harus menafsirkan tanda-tanda zaman berdasarkan sabda Allah serta memperlihatkan sikap kritis dan kenabian kepada umat-Nya (Martasudjita 2003, hal. 371). Bagaimana dengan Perjanjian Baru? Kepemimpinan dan pelayanan gereja pada saat itu (zaman para rasul hingga sesudah rasul) dipraktikkan dalam bentuk yang berbeda. Kepemimpinan gereja sangat dipengaruhi oleh struktur dan kepemimpinan masyarakat atau budaya sekitarnya. Alhasil, terealisasilah keanekaragaman model serta struktur gereja pada generasi awal. Sebagai contoh, jemaat Kristen-Yahudi mengikuti pola kepemimpinan jemaat sinagoga. Lembaga kepemimpinan jemaat dipimpin oleh penatua (presbyteroi). Berbeda dengan jemaat Kristen-Yunani. Mereka menggunakan pola kepemimpinan masyarakat kota, yaitu penilik (episkopos). Kemudia para diakon, dalam gereja perdana, mereka diangkat untuk tugas-tugas yang sifatnya karitatif-sosial (Martasudjita 2003, hal. 373-374). Pada era patristik pembentukan struktur kepemimpinan gereja hampir terjadi di mana-mana. Pada saat itu mulai terlihat kepemimpinan gereja secara hierarki yang ditopang oleh uskup, penatua, beserta diakon. Hingga pada abad ke-2, tingkatan kepemimpinan uskup, imam, dan diakon diakui serta diterima dalam pelayanan gereja. Tidak hanya di barat, namun struktur seperti ini juga diterapkan di timur (Martasudjita 2003, hal. 376). Pada abad pertengahan, kepemimpinan gereja juga disertai beberapa jabatan yang disebut jabatan minor. Mereka adalah porteria (penjaga pintu), lektor (pembaca Alkitab), eksorsit (pengusir setan), dan akolit (pembantu imam ketika ekaristi berlangsung). Penerimaan jabatan ditandai dengan pemberian benda-benda (porecctio instrumentorum) yang berhubungan dengan pelayanan, yaitu kunci, buku pembacaan, buku pengusir setan dan lilin, tongkat lilin dan piring hosti (White 2002, hal. 297). Praktik Penahbisan Pada konteks Perjanjian Lama, seorang raja yang berperan sebagai wakil Allah dan umat ditahbiskan dengan cara pengurapan. Calon raja diurapi dengan minyak sebagai tanda bahwa Allah telah memilihnya serta mengaruniakan Roh-Nya. Sedangkan penabisan imam (para keturunan Lewi) ditandai dengan pengenaan pakaiaan, pengurapan minyak sama halnya seperti penabisan raja, dan terdapat praktik mempersembahkan kurban. Berbeda dengan raja dan imam, untuk nabi tidak terdapat praktik atau penahbisan khusus. Mereka menjadi seorang nabi hanya berdasarkan panggilan Allah (bdk. Ams. 7:14-15) (Martasudjita 2003, hal. 371). Untuk Penahbisan dalam Perjanjian Baru tidak terlampau jelas diperlihatkan. Akan tetapi, dalam Kisah Para Rasul, kita dapat melihat ritus penumpangan tangan beserta doa untuk orang-orang yang dikhususkan dalam pelayanan kepemimpinan jemaat. Sebagai contoh, berdoa dan penumpangan tangan sebagai tanda penahbisan dilakukan kepada tujuh orang yang dipercaya dalam tugas pelayanan diakonat. Mereka bertujuh dihadapkan kepada para rasul, kemudian para rasul berdoa serta meletakkan tangan di atas mereka (bdk. Kis. 6:6). Perihal teks-teks Perjanjian Baru yang memuat doa dan penumpangan tangan, maka dapat dikatakan bahwa itulah unsur-unsur dasar dalam sakramen tahbisan. Penumpangan tangan seperti demikian berakar dari Perjanjian Lama dalam Bil. 8:10; 27:18-20; dan Ula. 34:9 (Martasudjita 2003, hal. 375). Penahbisan dalam era patristik dapat kita lihat melalui keterangan yang diberikan Hipotilus dari Roma. Bagaimanapun juga, ia mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan ritus penahbisan anggota hierarki. Melalui Traditio Apostolica-nya, Hipotilus menjelaskan bahwa penumpangan tangan dan doa (memuat rumusan sesuai dengan tingkatan tahbisan) untuk uskup, penatua, dan diakon merupakan inti pokok dalam perayaan penahbisan. Kita akan melihat catatan perihal masing-masing tinggkatan beserta praktik penahbisannya. Pertama, uskup. Sebagai langkah awal, umat memilih calon uskup sebelum ditahbiskan. Ketika pemilihan para uskup lainnya juga hadir. Setelah suara sudah bulat, maka para uskup langsung menumpangkan tangan kepada si calon. Di sisi lain, seorang uskup berdoa untuk penahbisan yang dilakukan. Isi dari doa tersebut dimulai dengan menceritakan tindakan penyelamatan Allah hingga mengundang Roh Kudus supaya dicurahkan kepada uskup baru. Ada harapan ketika Roh Kudus diundang, yaitu calon uskup yang ditahbiskan dapat melayani dengan baik sesuai tanggungjawab (dibuatkan daftar) yang diberikan. Akhirnya, sang uskup baru diberikan selamat serta ciuman perdamaian, lalu ia memimpin ekaristi (White 2002, hal. 296). Kedua, penatua. Berawal dari seorang uskup yang menumpangkan tangan kepada calon penatua. Penumpangan tangan juga dilakukan oleh penatua-penatua lainnya. Kemudian, uskup menaikkan doa. Doa ini menggunakan kata-kata yang sama dengan penahbisan calon uskup, namun secara spesifik doa ini mengundang Roh Kudus untuk pelayanan penatua. Doa yang dilakukan oleh uskup mengutip pemilihan Musa terhadap 70 orang Israel (bdk. Bil. 11:17-25). Ketiga, diakon. Penumpangan tangan hanya dilakukan oleh uskup seorang. Sang uskup juga berdoa agar Roh Kudus tercurah kepada sang diakon. Pada intinya, doa penahbisan beserta penumpangan tangan menjadi tindakan sentral untuk penahbisan ketiga jabatan ini (White 2002, hal. 297). Makna-makna dalam Penahbisan Ada tiga makna yang menjadi refleksi sakramen tahbisan, yaitu makna kristologis, makna eklesiologis, dan makna spiritualitas. Pertama, makna kristologis. Makna kristologis, yaitu partisipasi dalam imamat Yesus Kristus (Martasudjita, 2003, hal. 385). Dalam Perjanjian Baru imamat hanya ada satu, yaitu imamat Yesus Kristus. Imamat Yesus Kristus merupakan pangkal tolak sakramen tahbisan. Secara mendalam makna Imamat Yesus Kristus ini direfleksikan dalam Surat Ibrani. Dalam Ibrani 8: 1-2, Yesus disebut sebagai imam yang Agung. Kekhasan imamat Yesus Kristus ialah bahwa dalam diri-Nya terdapat dua peran, yaitu yang mempersembahkan dan yang dipersembahkan. Seluruh hidup Yesus menjadi ibadat dan persembahan. Puncak dari persembahan tersebut adalah ketika Ia berdarah di kayu salib. Kedua, makna eklesiologis (Martasudjita, 2003, hal. 386). Makna eklesiologis, yaitu tugas pelayanan gereja. Seseorang yang ditahbiskan untuk memimpin dan melayani gereja adalah orang yang memang dipanggil dan dipilih oleh Allah. Jadi, panggilan tersebut bukanlah demi diri-sendiri ataupun suatu bentuk keberhasilan hidup seperi halnya karir. Sekali lagi ditekankan, bahwa ini demi pelayanan serta pembangunan gereja. Pelayanan gereja beserta pemimpin yang ada didalamnya mempunyai tindakan pelayanan, maka model kepemimpinan gereja yang pantas dikembangkan adalah kepemimpinan yang bersifat fungsional. Ketiga, makna spiritual (Martasudjita, 2003, hal. 387). Makna spiritual, yaitu tahbisan sebagai karunia Allah. Tahbisan hanyalah rahmat dan karunia Allah. Ketika kita menerima tahbisan suci, maka itu tidak sama dengan kita menjalani pelantikan sebagai pejabat publik. Tahbisan suci adalah anugerah Allah dan sama sekali tidak bisa diandaikan sebagai keungulan-keunggulan dan jasa pribadi dari orang yang ditahbiskan. Sebaliknya, karena sudah menerima tahbisan suci, maka pihak yang ditahbiskan diperlukan sikap penyerahan diri secara total dan utuh kepada Yesus Kristus dan Gereja. Perihal makna, kelompok juga memaparkan beberapa pendapat perihal penumpangan tangan (karena tindakan ini dianggap penting), E. Martasudjita mempunyai pendapat bahwa penumpangan tangan merupakan tanda atas rahmat Allah sesuai dengan tugas yang diemban (Martasudjita 2003, hal. 375). Sedangkan James F. White berpendapat bahwa penumpangan tangan merupakan tanda penyampaian kekuasaan, berkat, serta pemisahan dari orang lain yang dilakukan oleh orang-orang yang berwenang (White 2002, hal. 296). Penahbisan dalam Konteks GPIB Dalam konteks GPIB, kelompok hanya akan fokus kepada satu jabatan gereja, yaitu pendeta jemaat. Pendeta jemaat adalah sebuah jabatan fungsional yang diberikan kepada seorang pendeta yang telah diangkat serta ditempatkan oleh Majelis Sinode. Ketika seorang pendeta sudah ditempatkan dalam suatu jemaat, maka pendeta tersebut secara otomatis menjadi presbiter dan tergabung dalam keanggotaan Majelis Jemaat. Tugas dari seorang pendeta jemaat adalah melaksanakan tugas-tugas dibidang persekutuan, pelayanan, dan kesaksian. Tugas tersebut diatur secara bersama dalam konsistorium dengan ketua Majelis Jemaat (Naskah Pemahaman Latar Belakang Penyusunan Tata Gereja GPIB t.thn.). Itulah sekilas penjelasan tentang keberadaan pendeta jemaat GPIB. Sebelum kita mendalami penahbisan dalam konteks GPIB, maka kita akan melihat tata ibadah penahbisannya terlebih dahulu: Tata Ibadah Penahbisan Pendeta GPIB (GPIB 2010, 40-51) • Persiapan • Ucapan Selamat • Ajakan Beribadah I. Menghadap Tuhan • Nyanyian Umat • Votum • Nas Pembibing • Salam • Nyanyian Umat • Pengakuan Dosa • Berita Anugerah • Nyanyian Umat • Petunjuk Hidup Baru • Nyanyian Umat • Paduan suara/ Vokal grup • Peneguhan Pendeta • Doa Penguatan • Pengakuan dan Janji • Janji Umat • Pengakuan Iman • Paduan Suara/Vokal Grup • Peneguhan • Penumpangan Tangan • Penyerahan Alat-alat Pelayanan • Penyerahan Pendeta Baru kepada Jemaat • Paduan suara/ Vokal grup • Pemberitaan Firman II. Pemberitaan Firman • Doa Epiklese • Pembacaan Alkitab • Nyanyian Umat • Khotbah III. Jawaban Umat • Nyanyian Umat • Doa Syafaat • Paduan suara/Vokal grup • Pengucapan Syukur • Nyanyian Umat • Doa Syukur IV. Pengutusan • Warta Jemaat • Amanat Pengutusan • Nyanyian Umat • Berkat Ketika kelompok berusaha mencari makna penahbisan dalam konteks GPIB, maka kami melalukan wawancara singkat kepada seorang pendeta GPIB, yaitu Pdt. Johan Karel Iroth. Beliau adalah pendeta GPIB Immanuel-Pekan Baru. Menurutnya, Dalam konteks GPIB, penahbisan adalah proses ketika eseorang diteguhkan sama halnya dilantik untuk memangku jabatan tertentu. Seseorang yang ditahbiskan dengan segenap hatinya berjanji akan menjalankan tugas jabatan sebagai pendeta dan memelihara serta mengembangkan pelayanan yang dipercayakan dengan segala kemampuan yang dimiliki. Pengakuan dan janji merupakan pernyataan untuk siap melaksanakan tugas sesuai dengan jabatan yang dipercayakan. Tidak hanya yang akan ditahbiskan, jemaat juga menyatakan janji. Janji jemaat, yaitu siap mendukung tugas sesuai dengan jabatan yang dipercayakan kepada yang ditahbiskan. Ketika calon pendeta ditahbiskan, maka para pendeta sekaligus Majelis Sinode menumpangkan tangan. Makna penumpangan tangan adalah menyampaikan berkat Tuhan atas nama Allah Tritunggal kepada yang ditahbiskan untuk menjalankan tugasnya. Setelah diteguhkan, akan ada penyerahan alat-alat pelayanan secara simbolis. Penyerahan alat-alat pelayanan secara simbolis ini untuk menyatakan bahwa alat-alat yang diserahkan akan digunakan dalam pelayanan nanti. Alat yang diserahkan antara lain: Alkitab, bejana baptisan, meja perjamuan (Alkitab, bejana baptisan, piring roti, cawan anggur, mimbar mimbar) (Iroth 2012). Penutup Keaneragaman praktik serta pemaknaan sebuah penahbisan sungguh begitu nyata. Ini terlihat dari perkembangan praktik penahbisan dari masa-masa. Mulai dari konteks Perjanjian Lama hingga konteks gereja dewasa ini. Keanekaragaman tidak berhenti di situ aja. Dalam perkembangannya, jabatan-jabatan yang nantinya akan menempel kepada seseorang yang ditahbiskan juga beragam. Melalui keberagaman ini, kita dapat memaknai bahwa teologi dari sebuah penahbisan begitu kaya. Namun demikian, kendati beragam, rasanya semua merasakan proses yang sama. Proses untuk menuju suatu penahbisan merupakan proses yang tidak mudah. Butuh perjuangan, pengurbanan diri, energi, maupun pikiran sebelum sampai di sana (penahbisan). Apa hanya berhenti di situ? Tentu tidak, ketika seseorang telah ditahbisakan, maka sesungguhnya pertempuran sebenarnya baru akan dimulai. Pertempuran melawan diri demi pelayanan yang ia telah janjikan. Di sisi lain, penahbisan ini sebenarnya juga menjadi media bagi para pemimpin jemaat (yang sudah ditahbiskan). Ketika mereka menghadiri suatu ibadah penahbisan, maka mereka sebenarnya diingatkan kembali atas janji yang pernah terucap, tanggungjawab yang diemban, serta komitmen untuk terus berkarya dalam pelayan yang senantiasa dilakukan. Bibliography GPIB, Majelis Sinode. Tata Ibadah GPIB. Jakarta, 2010. Iroth, Johan Karel, interview by Kelompok 2. (Maret 20, 2012). Martasudjita, E. Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Naskah Pemahaman Latar Belakang Penyusunan Tata Gereja GPIB. n.d. White, James F. Pengantar Ibadah K