Selasa, 15 Januari 2013

MANUSIA DAN RITUS

PENGANTAR UNTUK KULIAH RITUS KEHIDUPAN Oleh: Rasid Rachman Liturgi yang dibangun dengan banyak faktor ritual di dalamnya dewasa ini tidak dipahami berdiri sendiri. Sejak dikembangkannya ilmu liturgi pada abad ke-17, dan mencapai kejayaannya pada setelah PD 2 abad ke-20, perayaan liturgi melibatkan aspek-aspek lain, semisal: peran umat, makna ritus, apakah ritus mendidik, estetika, dsb. Perkuliahan ritus kehidupan ini akan menyoroti beberapa proses, antara lain: ritus sesehari, norma, klasifikasi, dan refleki teologis. Segala aspek ini dilihat dalam kaitannya dengan pemaknaan ritual sebagaimana diungkapkan melalui liturgi. Namun sebelum melihat semua itu, sebaiknya kita melihat dulu paparan tentang ritus. Sementara dalam menempuh studi ritual, kita membutuhkan disiplin-disiplin lain. Selain liturgi, setidaknya kita membutuhkan studi antropologi, psikologi, dan sosiologi. Melalui “kacamata” disiplin-disiplin humaniora tersebut kita membuka wawasan atas dan menyadarkan kita akan berbagai hal kecil (kata-kata, tindakan, dsb.) dan sesehari sebagai ritual kehidupan. Semisal: meniup lilin, membaca koran, menyetel televisi, dsb. Mata kuliah ini mengajak mahasiswa memperlajari liturgi sebagai ritual tanpa mengabaikan dan terbuka terhadap ritus-ritus lain di dalam kehidupan sosial baik tradisional maupun modern. Ritus dalam hidup sesehari Ritus adalah tindakan sakral manusia (= umat), baik personal maupun komunal, dalam berhubungan – demikian dalam keyakinan pelaku ritual – dengan Yang Ilahi dan sesama. Ritus merupakan fenomena religius dan sosial universal umat manusia sejak dahulu kala. Pada gilirannya, ritual bukan hanya memperkaya kehidupan, tetapi juga membentuk identitas. Upaya simbolisasi membuat benda, aksi, dan segala sesuatu itu menjadi bernilai. Maka ritus membuat simbol-simbol tersebut menjadi hidup dan berisi. Simbolisasi terhadap air, sehingga menjadi air baptisan dan masuk sebagai sarana dalam karya penyelamatan Allah kepada umat sebagaimana dikisahkan Alkitab. Nilai air menjadi berbobot, terlihat, dan berisi ketika ia diikutsertakan dalam sebuah ritual pembaptisan. Oleh karena itu, manusia disebut makhluk ritual, sekalipun ritus bukan hanya ada pada atau dilakukan oleh manusia. Lama sebelum manusia mengenal ritus, hewan (mungkin tanaman juga?) telah melakukannya. Bahkan bisa jadi, manusia “meniru” hewan untuk melakukan ritus sehingga ia menjadi makluk ritual. Ritus dapat dijumpai dalam kehidupan beragama, sesehari (sekuler), komunitas hobi, komunitas profesi, perkumpulan mahasiswa, perkumpulan seniman, Lembaga Swadaya Masyarakat, instansi militer, instansi pemerintah, kantor-kantor, perusahaan, pasar, rumah tangga, di depan pagar rumah, di jalan, dsb. Dari banyak kriteria, kita dapat menggunakan 4 kriteria berikut ini untuk memahami ritus, yaitu: Simbolisme, di mana perangkat dan tata gerak manusia menyimbolkan aktivitas dengan Yang Ilahi dan sesama, baik historis maupun maknawi. Air dalam ritus baptisan menyimbolkan air Teberau dan kematian-kehidupan baru. Darah adalah simbol yang cukup banyak digunakan sepanjang sejarah umat manusia. Prosesi (simbol universal sebagai migrasi makhluk hidup) menyimbolkan perarakan umat Israel menuju tanah perjanjian. Konsekrasi, di mana benda atau materi natural menghantar umat kepada sisi supranatural, kepada makna, pesan, dan gambaran di balik benda-benda. Perjamuan (yang) kudus itu menjadi gambaran perjamuan sorgawi kelak. Patung salib membawa umat kepada peristiwa salib Kristus dua ribu tahun lalu. Salib sendiri (atau tiang) telah dikenal dan digunakan oleh manusia sejak lama sebagai ”penghubung” bumi dan langit. (Di Jawa ada paku-buwono). Repetisi, di mana peristiwa historis (semula, awal) diulangi dan dihadirkan kembali saat ini. Pengulangan tersebut meliputi pengulangan waktu, tata cara, tempat, pemeran, dsb. Pemuliaan salib pada Jumat Agung merupakan pemaknaan peristiwa salib oleh Penginjil Yohanes akhir abad pertama yang digambarkan oleh gereja abad ke-7 dan sejak itu selalu diulangi oleh gereja-gereja pada setiap Jumat Agung hingga masa kini. Pengenangan, di mana peristiwa yang dikenangkan (anamnesis) itu – setelah diulangi secara khusus menurut makna simbolisnya – kemudian dibagikan, sehingga orang yang mendengar terlibat secara aktif masuk dan menjadi bagian dari peristiwa yang dikenangkan tersebut. Dalam prakteknya, ritus di masyarakat dapat berarti lebih luas daripada perayaan liturgi. Liturgi penikahan adalah segala kegiatan peribadahan yang berlangsung di gereja selama sekitar 1 jam. Namun ritus pernikahan di masyarakat dapat berlangsung beberapa hari atau beberapa bulan yang berlangsung sebelum dan setelah liturgi pernikahan dilaksanakan – ia adalah sebuah prosesi ritual. Liturgi pembaptisan berlangsung beberapa menit di tempat ibadah dan di hadapan Pendeta atau Imam, namun ritus pemberian nama dan keterhisapan seseorang ke dalam komunitasnya menurut budaya-budaya tertentu dapat berlangsung selama 1-2 hari. Bahkan, jika melihat baptisan sebagai ritus inisiasi, maka ritus tersebut berlangsung sejak katekisasi, pra-baptis, persiapan-persiapan, hingga baptisan. Penyunatan hanya berlangsung beberapa menit, tetapi ritualnya berlangsung 1-2 hari. Dengan demikian kiranya menjadi jelas dengan apa yang dimaksud dengan ritus, bahwa ia tidak sebatas pada satu-dua unsur. Oleh karena itu, inti dari sebuah tampilan ritus adalah pemaknaan dan tafsirannya. Pembaptisan akan memiliki pemaknaan yang berbeda jika dilihat dalam kerangka ritus inisiasi. Norma Manusia adalah (salah satu dari sangat sedikit) makhluk ritual di dunia ini. Ada ritus-ritus yang menjadi pakem telah diturunalihkan satu generasi ke generasi berikutnya. Pesta-pesta olahraga dimulai dari ritus pengambil api yang sumber api. Setelah diprosesikan selama beberapa hari, beberapa pekan, atau bahkan beberapa bulan, api tersebut dinyalakan di stadion utama. Ritual tersebut berjalan sedemikian rupa, sehingga sekalipun ia tidak langsung berhubungan dengan pertandingan-pertandingan dan perlombaan-perlombaan dalam pesta olah raga kelak, ritual tersebut memberikan pesan bahwa semangat membara laksana api yang menguap ke atas, kebersamaan rakyat dalam meneruskan api, dan terutama pesta demi keagungan Dewa Matahari tersebut menjadi nilai, motivasi, dan moto para atlet. Maka pertandingan dan perlombaan tidak lagi bertujuan pada dirinya sendiri, melainkan menanamkan nilai-nilai kebudayaan, sportivitas, kebanggaan dan harga diri, perjuangan, kerja keras, buah, dsb. Ritus berlangsung dalam sebuah prosesi atau sebuah drama dengan aturan atau norma-norma yang dianggap ukuran bagi “resmi atau tidaknya” sebuah ritus dilangsungkan. Norma adalah ketentuan atau aturan yang dipegangi atau diberlakukan dan kemudian menjadi pedoman umum untuk suatu hal. Dalam hal ritus, norma dipahami sebagai jalannya atau alur yang diberlakukan umumnya sebuah ritual. Norma tidak berarti mengikat, namun norma memberikan gambaran atau pedoman akan hal-hal global (misal: sejarah) dan detail (misal: unsur-unsur) dari sebuah ritus. Pembahasan selanjutnya dari norma sebuah ritus menyangkut pada sejarah pembentukannya. Studi terhadap sejarah memberikan informasi atau membantu masyarakat memperoleh informasi dan interpretasi atas unsur-unsur dan cara pelaksanaannya. Itulah sebab, para Reformator gereja abad ke-16 dan ilmu liturgi abad ke-17 memberikan perhatian besar terhadap sejarah peribadahan sebagaimana dipraktekkan dan dipahami oleh gereja awal. Sejarah pula yang akan membantu masyarakat untuk melihat kemungkinan-kemungkinan akan perkembangan sebuah ritus dalam bentuk modern atau kontekstual. Setiap ritus memiliki unsur-unsur tetap atau norma. Norma dapat berupa tindakan, kata-kata, tata gerak, tempat, tata ruang, sopan-santun, remeh-temeh, dsb. Mahasiswa mampu menampilkan norma (unsur atau unsur-unsur pokok) dari sebuah ritus: misalnya tiup lilin pada perayaan ulang tahun, dan kemudian mampu memaparkan arti dan pesan sebagaimana ditampilkan oleh unsur-unsur normatif tersebut. Setelah itu, mahasiswa pun diharapkan memberikan satu-dua saran sebagai unsur baru bagi sebuah ritus. Unsur baru tersebut diharapkan merupakan bakal sumbangsih atau kontribusi dalam khazanah ritus yang telah ada. Sekalipun norma (= detail, rinci) mendapat penekanan, namun kerangka ritual (= global, menyeluruh) tetap menjadi konteks dalam perkuliahan ini. Klasifikasi dan model rasa-ritual Ada beberapa bentuk atau model ritual, semisal: ritus keagamaan/sosial, ritus inisiasi/musim, dsb. Ronald Grimes memaparkan enam model rasa-ritus, yaitu: ritualization, decorum, ceremony, magic, liturgy, dan celebration. Ritualization (ritualisasi) Bentuk ritual paling awal ini, ritualisasi, merupakan ritus yang dijalankan sesehari – juga dilakukan oleh hewan (kadang dinamakan: inciting ceremony of ducks, karena melihat bebek yang memiliki gerak tetap dengan mengangkat-merendahkan lehernya ketika berhadapan dengan pesaing pasangannya). Pada manusia ada tindakan dasar, basic, dan natural. Naluri berada dalam klasifikasi ini. Kadang ritualisasi juga berupa ritus dasar, seperti: lapar-makan, dewasa-kawin, terancam-membela diri. Tanpa belajar dari siapa pun, manusia memiliki ritus dasar ini. Natur organis dan biologis “mengarahkan” siapa pun melakukan hal yang sama dalam situasi demikian. Decorum (penghias, pemanis) Klasisfikasi berikut setelah ritualisasi, decorum berupa etiket sosial, interaksi sosial. Decorum adalah tahap “sopan-santun” atau etiket, dan sesehari. Memberi “salam”, berkenalan dengan seseorang, bertukar pikiran dalam seminar, mandi dan sikat gigi sebelum pergi, berbusana, duduk di ruang tunggu RS, dsb. Jika ritualization adalah aktivitas dasariah yang muncul dengan sendirinya, maka decorum ada pengajaran atau pembentukan (karena ada atau melihat) orang lain (mutual conventionalized behavior) – namun tidak signifikan. Pada pihak lain, decorum menggambarkan status sosial seseorang. Tata krama masuk dalam wilayah ini. Ceremony Mode ceremony adalah model bersifat formal, legal, dalam komunitas. Jika decorum adalah soal interaksi face-to-face, maka ceremony adalah interaksi kelompok besar. Interaksi tersebut dapat bersifat politis, komunitas, nasionalis, birokatis, dsb. Dalam ceremony ada semacam tekanan (paksaan) dari kekuasaan – ini tidak terjadi dalam decorum – dan rasa hormat dan demi pertahanan identitas, kebanggaan, nasionalisme, semangat, dsb. Ceremony dapat dijumpai dalam bentuk upacara bendera, busana seragam, atribut, menyanyikan lagu kebangsaan, menyatakan salut, dsb. Magic Dalam pemahaman atau penghayatan sesuatu (tindakan atau perkataan) dapat menjadi kenyataan – bukan hanya memiliki makna atau pesan – maka itulah magic. Jika ceremony menggunakan kekuatan dan kekuasaan manusia, maka magic dengan kekuatan transenden. Dan magic ini ada di sekitar dan bahkan bersama kita dan praktek ibadah gerejawi. Doa-doa atas orang sakit, minum obat dokter, kualat, perminyakan akhir, rutin service motor, dsb. masuk kategori magic ini. Sugesti juga berada pada wilayah ini, dan ini semua bukan tipuan dan manipulasi. Liturgy (ibadah) Liturgy, dalam pandangan Grimes, adalah tindakan simbolis yang memiliki atau mensyaratkan kedalaman intelektualitas, yang kadang berbentuk ritus meditatif, kepada pelakunya. Tidak jarang, untuk ber-liturgy, untuk melakukan beberapa aksi, seseorang perlu berlatih atau belajar. Bertolak dari kisah sejarah yang unik (Yesus mati disalib; Sang Buddha memperoleh pencerahan di bawah boddhisatwa; Musa bertemu Tuhan di semak belukar), liturgy membuat peristiwa tersebut menjadi berulang-ulang hadir dalam setiap momen liturgy yang rutin dilakukan. Celebration (perayaan) Celebration merupakan bungkus dari kelima klasifikasi ritual di atas. Cebration membuat ritual-ritual menjadi hidup, ekspresif, dan dinamis. Ia dapat berupa karnaval, pawai, permainan, out-bond, pesta dansa, dsb. Dalam ritus, semuanya berjalan menurut pakem, semestinya. Ketika yang semestinya disenikan, dimainkan, diperindah, maka ritus-ritus menjadi celebration; area dimana nampak spontan namun ada pengaturan gerak dan ada permainannya. Dengan demikian, rasa dasar dari cebration adalah formalisasi perasaan. Tampilan paduan dengan posisi memegang kertas partitur dengan kedua tangan, berdiri tegak, baru menggambarkan ceremony. Ketika setiap paduan suara mengutamakan kemerduan dan keindahan lagu dengan bernyanyi secara asyik dan menyenangkan, maka ia mencapai celebration. Refleksi teologis Secara konvensional, teologi menyangkut ilmu Alkitab dan sejarah gereja. Dalam perkuliahan ini, penghayatan teologis dilihat dalam kaitannya dengan kultur, yakni bagaimana masyarakat melihat dan memberikan nilai baru terhadap ritual dalam kesejajaran dengan disiplin teologi. Selanjutnya mahasiswa menilai apakah sebuah usul baru untuk perayaan dapat menjadi sebuah ritus karena mengandung potensi pengulangan yang tetap. Ritus tanpa pengulangan akan hanya menjadi pesta sesaat. Ia tidak memberikan dampak pertumbuhan, apalagi sebagai embrio bagi sebuah budaya. Refleksi teologis juga membawa kita pada pertimbangan-pertimbangan aspek-aspek pendidikan: seberapa jauh ritus membawa perubahan sikap umat, atau apakah ritus tersebut mencerdaskan umat. Dengan demikian, sebuah ritus memiliki unsur-unsur normatif, memberikan pesan melalui maknanya yang dikandungnya, dan selalu dilakukan berulang-ulang. © Januari, 2013 Pustaka acuan Bernard Cooke dan Gary Macy, Christian Symbol and Ritual: an Introduction, (New York: Oxford University Press, 2005). Carl G. Jung (editor dan pengantar), Man and His Symbols, (Dell Publishing, 1964). Ester Pudjo Widiasih: Ritual dalam Kehidupan Berjemaat, dalam Binsar J. Pakpahan (editor), Seberkas Bunga Puspa Warna: Books of Friends 75 Tahun Pdt. H.A. van Dop, (Jakarta: Yamuger, 2010), 129 – 163. Mircea Eliade, Images and Symbols: Studies in Religious Symbolism, (Princeton: Princeton University Press, 1991). Paul Bradshaw dan John Melloh (editor), Foundations in Ritual Studies: a Reader for Students of Christian Worship, (Grand Rapids: Baker Academic, 2007). Ronald L. Grimes, Beginnings in Ritual Studies, (New York: Oxford University Press, 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar